-- Berbicara soal keadilan di Indonesia saat ini
seperti pepesan kosong. Dari luar tampak sedap. Tapi di dalamnya kosong. Hukum
hanya ramah kepada orang berduit, hanya tegak di hadapan wong cilik.
Sudah demikian banyak kasus orang tua renta harus
mendekam di tahanan sampai berbulan-bulan. Kasusnya pun ringan seperti
memunguti tiga buah kakao di areal perkebunan besar, menangkap empat ekor udang
di cagar alam, atau menebangi ranting kayu di hutan milik negara. Tak
tanggung-tanggung pula, mereka digelandang ke rumah tahanan bagi penjahat
professional yang sudah menumpahkan banyak darah korbannya.
Imbauan agar para penegak hukum memakai hati nurani,
pun bagaikan ‘anjing menggonggong kafilah tetap berlalu’. Bagi mereka, hukum
harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Dan alasan ini selalu dikemukakan ketika
mereka dihadapkan pada kritik tentang arting penting hati nurani dalam
penegakan hukum.
Alasan tersebut tentu saja menjadi tampak kedodoran
ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa korupsi masih merajalela di Indonesia.
Demikian pula dengan perusakan lingkungan secara besar-besaran oleh para
pengusaha besar, sehingga banyak wilayah di Indonesia tergenang banjir dan
tanah longsor pada musim hujan, dan kekeringan di musim kemarau.
Para penjahat yang telah menyebabkan Indonesia
terperangkap dalam kemiskinan massal berkepanjangan itu banyak yang lolos. Bila
toh harus masuk penjara, mereka juga dapat fasilitas istimewa di selnya. Ada
AC, kasur empuk, HP, bahkan salon kecantikan untuk yang perempuan.
Sekarang para penjahat itu bahkan ‘dikaruniai’ jalan
pintas untuk membebaskan diri dari penjara, yaitu praperadilan. Melalui lembaga
ini mereka bisa memaksa para penegak hukum mencabut status tersangka tanpa
lewat proses pengadilan. Bukti-bukti yang telah susah-payah dikumpulkan para
penyidik pun menjadi sampah
Jika ternyata perkara mereka harus masuk pengadilan,
itu pun tak perlu membuat hati terlalu gundah. Kajian Indonesia Corruption
Watch (ICW) menunjukkan, sepanjang tahun lalu para koruptor rata-rata hanya
kena vonis dua tahun 8 bulan penjara. Tahun sebelumnya dua tahun 11 bulan.
Angka rata-rata itu didapatkan oleh ICW berdasarkan
kajian atas 395 kasus korupsi dengan 436 terdakwa. Kesimpulan kajian itu, 77,6%
dari kasus tersebut berakhir dengan vonis ringan, yaitu satu sampai empat
tahun. Sedangkan yang dijatuhi hukam terberat - 10 tahun keatas - hanya 0,84%
atau empat kasus. Menurut catatan ICW, kajian tersebut juga menemukan banyak
hakim menjatuhkan hukuman lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa.
Nah, yang membuat pengadilan lebih bersahabat kepada
para koruptor adalah, masih menurut ICW, kenyataan bahwa para hakim enggan
menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi ketika menangani kasus korupsi. Dalam
pasal 2 UU ini disebutkan, hukuman bagi pelaku korupsi adalah pidana penjara
seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
Lebih parah lagi, tokoh legendaris dalam pemberantasan
korupsi pun bisa ditumbangkan ketika menjalankan tugas. Mereka adalah Abraham
Samad dan Bambang Widjojanto, yang sekarang terpaksa non aktif dari KPK
gara-gara menetapkan jendral polisi berbintag tiga, Budi Gunawan, menjadi
tersangka. Sampai sekarang Jendral Budi Gunawan, yang menurut putusan
Praperadilan tidak dianggap sebagai penegak hukum tetap bebas dan tak tergusur
dari posisi lamanya sebagai petinggi kepolisian.
Tak kalah dahyatnya adalah kasus korupsi Rp1,2 trilun
yang dilakukan oleh Sudjiono Timan. Koruptor besar ini pada 2013 diputus bebas
di tingkat PK. Padahal, sejak diputuskan bersalah di tingkat pengadilan negeri
sampai diputuskan bebas oleh PK, dia berstatus buron. Mantan Ketua Mahkamah
Agung (MA) Prof Dr Bagir Manan pun geram, dan menyebut para hakim yang
membebaskan Timan “tak punya harga diri.”
Seorang buronan, menurut Bagir, adalah golongan
orang-orang yang melawan hukum. Oleh karena itu, putusan bebas bagi Sudjiono
Timan dia nilai sebagai bentuk pelecehan hukum.
Kenyataan tersebut jelas sangat bertolak belakang
dengan yang dialami seorang anak dibawah umur di Palu, Sulawesi Tengah, pada
2012. Gara-gara dituduh mencuri sandal jepit oleh seorang polisi, setelah
mendekam di tahanan selama beberapa bulan, dia dinyatakan bersalah oleh hakim.
Palu. Meski vonisnya ringan, anak di bawah umur itu akan menyadang status bekas
narapidana seumur hidup.
Lain lagi dengan nenek Minah (55 tahun). Pada 2009,
setelah ditahan selama tiga bulan, dia diganjar satu bulan 15 hari oleh
pengadilan negeri Purwokerto, Jawa Tengah. Kesalahannya, mencuri tiga buah
kakao milik milik PT Rumpun Sari Antan (RSA).
Tiga nelayan Pandeglang, Banten, yang kepergok
menangkap 4 ekor udang di kawasan cagar alam bernasib mirip dengan Minah.
Mereka terpaksa mendekam dibui selama tiga bulan sampai sidang pengadilan
digelar. Ditengah kecaman demikian hebat terhadap cara penganganan kasus
tersebut, pada Januari lalu para nelayan tersebut divonis bebas.
Bagaikan kasus besar, kasus nenek Rasminah yang
dituduh mencuri 6 buah piring oleh majikannya pada 2012, bahkan dibawa oleh
pihak kejaksaan sampai ke tingkat Mahkamah Agung. Rasminah pun akhirnya dijauhi
human empat bulan 10 hari. Kegigihan jaksa dalam menangani perkara yang
sesungguhnya bisa didamaikan di kantor Satpam atau polisi ini, tentu saja
menuai banyak kecaman.
Oleh pakar hukum tata-negara Jimly Assiddiqie vonis
terhadap Rasminah adalah bukti bahwa orientasi penegak hukum adalah menjalankan
peraturan, bukan menegakkan keadilan.
Melihat itu semua, ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin
Andi Tumpa beberapa waktu lalu mengimbau agar para hakim tidak menggunakan kaca
mata kuda ketika menjalankan tugas. Nilai-nilai keadilan yang tumbuh di
masyarakat, katanya, juga harus diperhatikan.
Masalahnya, tak sedikit dari penegak hukum lebih suka
memperhatikan keuntungan pribadi ketimbang pengadilan.
Komentar
Posting Komentar