Oleh : Fauzan Chaniago
Di Indonesia di awal 2015 ada 10 terpidana mati kasus
narkotika yang akan di eksekusi. Hal menjadi perdebatan panjang antara
Pemerintah Indonesia dengan Australia. Sehingga
Australia melalui Perdana Menterinya Tony Abboott tetap masih
saja ngotot meminta agar pemerintah indonesia membatalkan hukuman mati bagi dua
warga Australia yang terlibat kasus narkoba. Namun Presiden Jokowi sejauh ini masih tetap pada pendiriannya untuk menghukum
dua tervonis mati itu.
Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28I ayat 1, menyebutkan:
"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan
ancaman hukuman mati.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa
bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa.
Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak
hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati. Hingga
2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman
hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme,
dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU
Intelijen dan RUU Rahasia Negara.
Peneliti Institute for Criminal Justice
Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, dalam menekankan pelaksanaan
eksekusi mati, Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak sadar bahwa 229 warga
negara Indonesia saat ini terancam untuk dieksekusi mati di negara lain.
"Saat Indonesia menunjukkan kekuatannya
terhadap para terpidana, pemerintah tidak sadar ada 229 WNI terancam hukuman
mati di negara lain. Apa yang nantinya bisa dikatakan pemerintah saat lakukan
pembelaan?" ujar Erasmus saat ditemui di Kantor Human Rights Working Group
(HRWG),
Erasmus menjelaskan, dari total warga negara yang
terancam hukuman mati, sebanyak 131 orang merupakan terpidana dalam kasus
narkotika. Ia mengatakan, dalam hal ini, Presiden Joko Widodo akan kesulitan
untuk memberikan bantuan hukum bagi warga negaranya yang terancam hukuman mati.
(Baca: Dari 229 WNI yang Terancam Hukuman
Mati di Luar Negeri, 57 Persen Terkait Narkoba). Selain itu,
secara spesifik, Erasmus mengomentari pembatasan jumlah pengajuan peninjauan
kembali (PK), yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014.
Menurut dia, aturan tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia tidak
memenuhi prinsip fair trial dalam pemenuhan hak sesuai prosedur hukum
bagi para terpidana.
"PK tidak boleh lebih dari satu kali
membatasi hak warga negara untuk memperoleh keadilan. Fair trial tidak
dijamin di Indonesia. Jokowi harus jelaskan bagaimana menyelamatkan WNI di luar
negeri yang akan dihukum mati," kata Erasmus. (B: Pemerintah Janji Dampingi 229 WNI yang
Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri).
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukka, dalam hal ini Presiden Jokowi harus bijaksana karna ada ratusan nyawa warga Negara Indonesia yang akan di eksekusi mati.
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukka, dalam hal ini Presiden Jokowi harus bijaksana karna ada ratusan nyawa warga Negara Indonesia yang akan di eksekusi mati.
Komentar
Posting Komentar