yang lebih Penting dalam Politik Adalah kemanusian.
Kekerasan
mematikan semakin memburuk di negara bagian Rakhine, Myanmar, dalam tiga hari
terakhir hingga Minggu (30/8/2017), dengan hampir 100 orang tewas.
Korban
tewas meningkat karena bentrokan bersenjata antara tentara dan militan Rohingya
berlanjut untuk hari ketiga, Minggu kemarin, seperti diberitakan kantor berita
Perancis, AFP dan media
Inggris, The Guardian.
Pemerintah
telah mengevakuasi setidaknya 4.000 warga desa non-Muslim di tengah bentrokan
yang berlangsung di Rakhine barat laut. Ribuan Muslim Rohingya melarikan diri
ke Banglades.
Tindakan represif militer dan warga mayoritas Buddha Myanmar
terhadap etnis minoritas muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine membuat
banyak orang bertanya-tanya tentang sikap Aung San Suu Kyi. Sebab, perangai
pemenang penghargaan Nobel Perdamaian itu dianggap jauh berubah setelah
menduduki tampuk kekuasaan.
Suu Kyi
yang sekarang dianggap mengabaikan hak-hak etnis minoritas. Tidak seperti dulu
saat lantang menyuarakan soal hak asasi dari balik pagar rumahnya, ketika
dijadikan tahanan rumah oleh rezim militer Myanmar. Hal itu membikin banyak
pengikut dan pengagumnya kini kecewa berat dan mulai berpaling.
Salah satunya adalah dr. Ma Thida. Di masa lalu, Thida adalah
salah satu pengikut setia Suu Kyi yang terpikat dengan ide-idenya tentang
demokrasi dan pentingnya hidup bebas dari cengkeraman ketakutan. Dia pun sempat
merasakan kekejaman militer saat mencoba menghancurkan gerakan pro demokrasi.
Enam tahun di balik penjara dan hampir tewas karena sakit menjadi harga mesti
dibayar Thida dalam perjuangannya. Thida kini membuka praktik sebagai dokter,
sekaligus menulis novel di sela-sela kesibukannya.
Hanya saja kini Thida tidak bisa memahami mengapa sikap
panutannya itu berubah total. Sejumlah pertanyaan bermunculan di benaknya.
Ternyata bukan cuma dia yang bersikap seperti itu. Mereka sakit hati dan
menganggap Suu Kyi seperti merestui pelanggaran hak asasi dilakukan pemerintah
Myanmar terhadap etnis minoritas sekaligus kaum muslim. Dia juga berkali-kali
memenjarakan pewarta serta pegiat hak asasi, tunduk kepada jenderal-jenderal
berkuasa, dan tidak menyiapkan pengganti ketika dia sudah harus lengser dari
tampuk kekuasaan. Thida merasa ngeri dengan kenyataan itu. Sebab jika tidak ada
pemimpin dari kalangan sipil cukup cakap menggantikan Suu Kyi, maka bisa jadi
militer kembali mengambil alih kepemimpinan negara dan mereka kembali mundur ke
masa lalu yang suram.
"Kami tidak berharap dia (Suu Kyi) mengubah seluruh
negeri dalam satu setengah tahun, tetapi kami ingin melihat pendekatan berdasar
kemanusiaan yang kuat," kata Thida yang juga menerima penghargaan sebagai
pegiat hak asasi manusia, Dunia mengkritik mengapa Suu Kyi tidak mampu berbuat
apa-apa buat menghentikan kekerasan terhadap warga Rohingya, yang sejak lima
tahun lalu menjadi korban kekejaman pasukan pemerintah dan penduduk mayoritas
Buddha. Lebih dari seribu orang
Rohingya meregang nyawa dalam konflik. Sedangkan ratusan ribu terpaksa
mengungsi di perbatasan Bangladesh. Sisanya terpencar ke beberapa negara di
Asia Tenggara.
Suu Kyi cuma mengatakan orang Rohingya justru merusak usaha
perdamaian di Negara Bagian Rakhine. Dia lupa kalau orang Rohingya justru
terpaksa melakukannya karena tidak ada pilihan lain dan cuma mempertahankan
diri lantaran tentara Myanmar terus membakar perkampungan mereka.
Suu Kyi juga melarang tim Perserikatan Bangsa-Bangsa
mendatangi wilayah konflik. Sebab, pertikaian berdarah itu dianggap menjurus
kepada genosida. Banyak laporan berdasarkan pengakuan warga Rohingya mengungsi
kalau pasukan Myanmar melakukan pembunuhan massal, membakar anak-anak, dan memerkosa
muslimah Rohingya. Namun, pihak Suu Kyi menyangkal hal itu dan menyatakan kalau
serdadu pemerintah cuma membalas 'pemberontak'. Malah Suu Kyi sempat menulis di
akunFacebook-nya tentang bantahan
itu dengan judul 'Pemerkosaan palsu'.
"Kekerasan terhadap warga Rohingya bukan konflik
tertutup. Kami memahami permainan dilakukan militer. Namun, sebagai politikus
dipilih rakyat, Suu Kyi harus bertanggung jawab atas sikap diamnya dan
kegagalan menghentikan ulah tentara," kata peneliti etnis minoritas
Kachin, Stella Naw.
Selama 15 tahun Suu Kyi menjadi tahanan rumah dan terus
melawan rezim militer. Dia hidup terpisah dari suaminya yang orang Inggris
serta kedua anaknya. Baru dua tahun lalu Suu Kyi dan partai besutannya, Liga
Nasional untuk Demokrasi, memenangi pemilihan umum. Meski sikapnya soal etnis
Rohingya mengecewakan, tetapi pamornya di mata masyarakat dan pengagumnya masih
beken.
"Kami tidak punya pilihan lain. Orang-orang masih
mendukungnya, termasuk partai dan pemerintahannya. Mereka harus menurunkan
harapan karena masalahnya sangat pelik," kata Direktur Eksekutif Yayasan
Bantuan Buku dan Pelestarian Myanmar, Thant Thaw Kaung.
Tidak demikian di mata mantan tahanan politik dan kini
memimpin Institut Tampadipa, Khin Zaw Win. Dia merasa sejak bekerja mulai April
tahun lalu, Suu Kyi mulai menjauhkan diri dan mengendalikan informasi. Dia
menduga jangan-jangan ide-ide demokrasi Suu Kyi cuma khayalan, dan jauh di
dalam hatinya tersimpan perangai otoriter yang muncul ketika menggenggam
kekuasaan. Sedangkan Suu Kyi selalu mengatakan kalau dia menghormati militer
karena ayahnya, mendiang Aung San, adalah pahlawan kemerdekaan Myanmar yang
berjuang mengangkat senjata. Suu Kyi juga memecat sejumlah anggota partai yang
berbeda pendapat dengannya, tidak menyiapkan pengganti, jarang berbicara dengan
media massa, dan lebih suka membikin keputusan mendadak ketimbang mencari
bantuan dari ahli. "Ketika
dia menjadi oposisi dia selalu tegas, vokal, tetap sekarang mendadak kami
melihat dia diam. Sekarang Myanmar sedang berada dalam jalur demokrasi. Semua
orang berhadap ada keterbukaan. Namun hal itu tidak terjadi," kata Zaw.
Zaw juga merasa dukungan penuh masyarakat kepada Suu Kyi
memberikan dia kesempatan menantang jenderal-jenderal berseberangan, yang bisa
saja sewaktu-waktu mengambil alih kendali pemerintahan dan menyalahkan apapun
kepada Suu Kyi. Yang kurang dari Suu Kyi adalah keberanian mengurus masalah hak
asasi manusia dan kemampuan menangani persoalan di luar kemampuan militer,
seperti ekonomi.
"Alasan yang selalu diulang adalah militer masih
mengendalikan politik, masih menguasai konstitusi, jadi kami terpasung. Saya
tidak percaya argumen seperti itu. Dia bukan tahanan militer," ucap Zaw.
Zaw melanjutkan, dia melihat Suu Kyi seolah mengikuti jejak
pemimpin Junta Militer Myanmar, Jenderal Ne Win, yang memerintah selama 26
tahun dengan gaya otokrasi dikelilingi oleh orang-orang dekat yang selalu
tunduk. Setelah merengkuh kekuasaan, dia menduga Suu Kyi berpikir dia bisa
melakukan semuanya seorang diri.
"Suu Kyi terlihat mengikuti jejak Ne Win. Itu disebut
sebagai 'mental orang istana' dan itulah yang terjadi sekarang," kata Zaw.
"Ini tragedi. Dia banyak kehilangan, keluarganya, masa
saat menjadi tahanan rumah, dan kini malah memutuskan hubungan dari masyarakat
yang rela masuk penjara karena dia, siap mati karena dia. Hati mereka hancur
melihat apa yang terjadi dengan Suu Kyi saat ini," lanjut Zaw.
Analisa Thaw berbeda dari Zaw. Dia melihat kalau Suu Kyi
tidak bisa memaksakan memasukkan agendanya supaya pemerintahan lebih demokratis
dan berbasis kemanusiaan, karena bisa-bisa didepak oleh kalangan militer.
Apalagi walau jabatannya di atas presiden, tetapi rezim militer menguasai tiga
kementerian mengendalikan aparat keamanan, pemerintahan daerah dan daerah
terluar, serta jatah 25 persen di parlemen.
"Dia bisa jadi saling bersalaman dengan militer di atas
meja, tetapi di balik itu mereka menjatuhkannya," ujar Thaw.
Suu Kyi selalu mengulang pernyataan kalau urusan utamanya
adalah mengakhiri peperangan puluhan tahun antara pemerintah pusat dan etnis
minoritas. Namun, dia mengabaikan fakta kalau pasukan pemerintah sampai saat
ini masih terus menyerang Negara Bagian Kachin dan Shan.
"Konsep rekonsiliasi nasional Suu Kyi cuma terfokus soal
partainya dan militer, sedangkan permasalahan etnis minoritas cuma isu
sampingan," kata pakar etnis minoritas Myanmar, Ashley South.
Ashley mengatakan, Suu Kyi secara prinsip nampaknya melihat
Myanmar cuma sebagai negara mayoritas Buddha, ketimbang terdiri dari berbagai
agama, bangsa, budaya.
Komentar
Posting Komentar