KAWAL PILKADA 2018 DARI POLITIK UANG SERTA POLITIK INDENTITAS.


Persiapan penyelenggaraan Pilkada serentak 2018, minim persoalan administratif dibandingkan penyelenggaraan Pilkada sebelumnya. setidaknya dua hal yakni masalah administratif Pilkada saat ini relatif semakin sedikit dan mekanisme dukungan partai politik untuk mengusung pasangan calon berada di tingkat pusat. Kedua hal ini, menyumbang minimnya masalah administratif dalam persiapan penyelenggaraan Pilkada serentak 2018.

Hari pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2018 di 171 daerah tinggal menghitung jam. Banyak pihak yang mengawal pelaksanaan Pilkada serentak, tidak  hanya Badan Pengawas Pemilu, tetapi juga kelompok-kelompok masyarakat sipil. Pengawasan yang baik akan menentukan kualitas pesta demokrasi tersebut. Para pemangku kepentingan perlu mewaspadai gangguan yang mungkin timbul.

mengingatkan sedikitnya tiga potensi yang patut diwaspadai dalam pergelaran Pilkada serentak. Pertama, politik uang, yang jenisnya sangat beragam seperti uang mahar, donasi yang melanggar ketentuan, dan memberi imbalan kepada pemilih.

uang mahar dari calon untuk partai politik masuk kategori perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur UU No. 10 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Regulasi itu memuat ancaman sanksi administratif, pidana dan denda bagi partai politik atau gabungan yang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan kepala daerah. “Mengacu data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) rata-rata calon Walikota atau Bupati mengeluarkan uang Rp20-Rp30 milyar, untuk Gubernur sekitar Rp100 milyar,

Bentuk politik uang lainnya, adalah sumbangan untuk dana kampanye yang melebihi batas ketentuan. Pasal 74 UU No. 10 Tahun 2016 mengatur sumbangan dana kampanye dari perseorangan paling banyak Rp75 juta dan Rp750 juta dari badan swasta. Tapi  tak jarang pasangan calon dan tim pemenangannya mencari celah agar sumbangan itu bisa melebihi batas ketentuan. Misalnya, untuk sumbangan dari swasta dipecah tidak berasal dari satu perusahaan saja tapi banyak perusahaan, padahal antar perusahaan itu masih dalam grup korporasi yang sama.


praktik politik uang dalam pilkada sangat mengkhawatirkan, calon yang terpilih nanti akan sibuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kampanye. Periode 2004-2017 tercatat 87 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi. “Awal 2018 KPK menangkap tangan 10 kepala daerah tersangka korupsi, sebagian bersiap untuk berkompetisi dalam pilkada,”

Kedua, politik kebencian.  karakter politik kebencian memanfaatkan prasangka berbasis identitas, ujungnya berpotensi menghasilkan pembelahan sosial. Cara ini  berhasil diterapkan dalam Pilkada di Jakarta 2017. Tapi bukan berarti cara serupa bisa digunakan untuk daerah lain. Banyak pihak  khawatir politik kebencian ini digunakan untuk menciptakan dukungan berkelanjutan setelah Pilkada serentak 2018 yaitu sampai Pemilu 2019.

Ketiga, dinasti politik.  dinasti politik yaitu keluarga dari pasangan calon yang memiliki penguasaan luar biasa atas sumber daya ekonomi dan politik di daerah tersebut.  pada Pilkada serentak 2015 ada 12 nama calon memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh politik lokal yang berpengaruh. Dari belasan calon itu 5 diantaranya terpilih menjadi kepala daerah dan menjabat sampai 2020. Pada Pilkada serentak 2017 calon yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan tokoh politik lokal jumlahnya meningkat, terhitung 8 dari 12 kandidat terpilih menjadi kepala daerah.

Untuk Pilkada serentak 2018, ada 11 calon yang memiliki hubungan kerabat dengan tokoh politik lokal yang berpengaruh. Dari jumlah itu 8 di antaranya mengikuti pemilihan Gubernur di 6 provinsi berlainan yaitu Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara.

tren politik uang menurun tapi politik identitas meningkat. Baik politik uang dan identitas  sangat berbahaya bagi demokrasi. Sayangnya, para pemangku kepentingan seperti penyelenggara pemilu dan aparat masih berbeda pandangan tentang defenisi politik identitas atau suku ras dan agama (sara). “Regulasi juga tidak memberi defenisi yang ketat soal sara dalam penyelenggaraan pilkada/pemilu,



Komentar