WAJAH BARU DI PARLEMEN


Selasa 1 Oktober 2019 kemarin, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berjumlah 575 Periode 2019-2024 resmi dilantik dan mengangkat sumpah dipandu Ketua MA M. Hatta Ali. Tantangan lembaga legislatif yang kini dipimpin Puan Maharani ini diperkirakan semakin berat dan tidak mudah dalam 5 tahun ke depan. Terutama dalam menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi yang kinerja DPR periode sebelumnya dinilai tidak optimal.  

bagi sebagian pihak merasa parlemen baru tidak akan banyak memberi perubahan. Mengingat 56 persen anggota DPR yang terpilih itu merupakan petahana atau wajah-wajah lama. Asal partainya pun tidak banyak perubahan. Anggota DPR yang mayoritas adalah petahana itu telah mendapat kritik keras dan mosi tidak percaya dari masyarakat.

“Namun, masuknya beberapa anggota DPR baru diharapkan membawa semangat baru, maka DPR seharusnya sudah harus mulai berupaya memulihkan kepercayaan rakyat kepada lembaga legislatif dengan cara segera berbenah diri.

berkaca dari kinerja DPR periode 2014-2019 kerap menuai kontroversi di tengah publik. Mulai 23 anggota DPR yang terjerat kasus korupsi; minimnya Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN); revisi UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Berlanjut, kontroversi seleksi Capim KPK dan pemilihan ketua KPK, hingga pengesahan RUU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dinilai melemahkan KPK.

Tak hanya itu, di penghujung berakhirnya masa jabatan DPR, justru para wakil rakyat ini melakukan kesalahan fatal di bidang legislasi – meski sebagian pengesahan sejumlah RUU ditunda - dalam proses pembahasan dan pengesahan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU). Sebab, prosedur dan substansi sejumlah RUU tersebut dinilai bermasalah, seperti proses pengesahan revisi UU KPK yang kini sudah menjad UU.

“RUU ini tergesa-gesa (midnight law) disahkan tanpa melibatkan masyarakat. Karena itu, anggota DPR periode 2019-2024 sebagai wakil rakyat harus mengembalikan kepercayaan publik, bukan sebagai alat legitimasi kekuasaan semata.  

Anggota DPR terpilih melakukan evaluasi dalam proses perumusan dan pembahasan RUU yang mendapat penolakan masyarakat. Seperti revisi UU KPK, RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan baik proses pembahasan maupun substansinya.

“Publik  meminta pembahasan kebijakan ke depan harus mendengarkan aspirasi rakyat serta melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam proses pembahasan secara substantif, bukan hanya formalistik, Guna membenahi sektor hukum dan HAM,  DPR dan pemerintah segera merevisi KUHAP dan mengevaluasi UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Mengingat akhir-akhir ini gejolak sosial dan politik telah menelan banyak korban akibat tindakan represif dan proses penegakan hukum yang semakin tidak terkontrol saat menyikapi demonstrasi rakyat.

“DPR yang baru harus bertindak kritis dan obyektif sesuai kewenangan (fungsi pengawasan) yang dimiliki dalam mengawal jalannya pemerintahan saat ini. Sebab, semangat pemerintah dalam pembangunan dengan mendorong investasi besar-besaran, berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan dan merugikan kepentingan masyarakat.


Komentar