HARI INI NEGARA BERPURA
PURA MENJADI TUHAN
oleh , Fauzan Chaniago SH
Nagara
Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum sebagai menurut Pasal 1 Ayat 3,
Bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Negara Hukum ialah Negara yang
berdiri di atas Hukum yang menjamin keadilan kepada Negaranya. Keadilan merupakan
syarat bagi terciptanya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai
dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia
agar menjadi warga negara yang baik. Menurut Aristoteles yang pemerintah bukanlah manusia sebenarnya,
melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebernanya hanya pemegang hukum
dan keseimbangan saja.
Di tengah pro-kontra wacana terhadap hukuman mati
di Indonesia, prinsip dasar atas penghormatan fundamental terhadap HAM
semestinya menjadi pijakan utama. Hak untuk hidup (right to life); merupakan
kategori hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi serta dibatasi dalam keadaan
apapun, termasuk dalam batasan regulasi formal. Apalagi, hal ini secara jelas
tercantum dalam Konstitusi RI. Mahkamah Konstitusi, sebagai pengawal pelaksanaan
UUD 1945, seharusnya menjalankan amanat konstitusi tersebut dengan memberikan
amanat penghapusan hukuman mati. Terlebih dalam sistem hukum di Indonesia,
hukuman mati bukanlah cara yang efektif untuk menghentikan suatu tindak pidana.
Sistem peradilan kita masih belum dapat menjamin sebuah proses yang jujur (fair
trial), sehingga kemungkinan terjadinya peradilan sesat khususnya kesalahan
penerapan hukum cukup besar akibat korupsi, birokratisasi, diskriminasi dan
bias kelas. Dalam konteks itu, kehadiran sanksi hukuman mati tentu tidak dapat
memperbaiki satu keputusan hakim yang salah. Di sisi lain, tidak ada pembuktian
akademis bahwa pelaksanaan hukuman mati secara efektif memberikan efek jera
kepada pelaku kejahatan dan mengurangi tindak pidana yang terjadi.
Putusan MK yang melihat bahwa pelaksanaan hukuman
mati tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 karena menganggap
tata cara pelaksanaan hukuman mati berdasarkan UU No.2/Pnps/1964 bukan
merupakan tindakan penyiksaan adalah sebuah keputusan yang terjebak positivisme
hukum formal, karena hanya melihat unsur yang digugat saja, yaitu penyiksaan.
Padahal, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 secara tegas dan jelas mengatur mengenai
hak-hak dasar warga negara sebagai satu kesatuan yang utuh, di mana dengan
tegas dinyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak dasar yang harus dijamin
oleh negara.
Putusan MK ini secara nyata telah mengabaikan
perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang telah mengalami perubahan paradigma sebagaimana terlihat dalam
RUU KUHP yang sudah menempatkan hukuman mati sebagai pidana yang bersifat
khusus dan diancamkan secara alternatif. Pidana mati dapat dijatuhkan secara
bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa
percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana
mati tidak perlu dilaksanakan. Demikian juga dengan Statuta Roma Mahkamah
Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court, 1998)
yang telah akan diratifikasi Pemerintah Indonesia, yang sama
sekali tidak mengatur mengenai ancaman pidana mati. Hukuman dalam mekanisme
International Criminal Court juga hanya berupa hukuman penjara yang terdiri
dari hukuman penjara seumur hidup untuk kejahatan yang sangat serius dan hukuman
penjara maksimum 30 tahun.
Disamping itu, penerapan hukuman mati bertentangan dengan ketentuan hukum hak asasi manusia Internasional yang secara tegas menyatakan hukuman mati bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur di dalam konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International in Civil and Political Rigts-ICCPR.). Hak untuk hidup (rights to life) - yaitu pada bagian III Pasal 6 (1) - menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Perlu diingat bahwa prinsip-prinsip yang diatur dalam ICCPR telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, melalui UU No.12 Tahun 2005 tentang Ratifukasi Hak – hak sipil dan Politik
Putusan Mahkamah Konstitusi ini sangatlah ironi,
mengingat dasar filosofis dan konstitusi negara Indonesia yang kemudian
dikonkritkan lagi dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 telah secara
eksplisit menyebutkan bahwa pandangan dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak
asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan
nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila, dimana hak asasi
manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati
dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin
kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang
tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun.
Minggu Tanggal
18 Januari tepat Jam 00.0 enam Terpidana
mati akan di eksekusi, Prasetyo mengatakan, eksekusi mati akan dilakukan tim
jaksa. Di bantu regu penembak dari kepolisian Daerah Jawa Tengah. Yang mempin
itu tergantung dimana perbuatan
dilakukan, diketahui dari enam terpidana
mati tersebuat, empat diataranya adalah Warga Negara Asing (WNA), semua terpidana mati merupakan
terpidana kasus narkotika, dari 6 terpidana itu, 2 diantaranya itu terpidana
wanita. Adapun keenam terpidana tersebut adalah :
1. Marco Archer Cardoso Moreira (WN
Brazil)
2. Namaona Denis (WN Malawi)
3. Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria)
4. Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WN Belanda)
5. Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam)
6. Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI)
2. Namaona Denis (WN Malawi)
3. Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria)
4. Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WN Belanda)
5. Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam)
6. Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI)
mempertahankan
penerapan hukuman mati dalam pendekatan hukum positif semata jelas tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi demikian, perubahan terhadap hukum
nasional menuju penghapusan hukuman mati menjadi sebuah keharusan. Terlebih
lagi konstitusi negara telah melahirkan pengakuan akan hak untuk hidup yang
tidak dapat dikurangi atas alasan apapun, sehingga penghapusan hukuman mati
diseluruh ketentuan hukum adalah kewajiban konstitusional. Jangan jadikan hukum berpura pura menjadi tuhan,
Daftar
Pustaka
1.
teori-negara-hukum-rechtstaat
2.
International in Civil and Political Rigts-ICCPR
3.
UU No.12 Tahun 2005 tentang Ratifukasi Hak – hak sipil dan Politik
4.
Rome Statute of the International Criminal Court,
1998
Komentar
Posting Komentar