Permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang
Perkebunan (UU Perkebunan) dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk
sebagian. Dengan putusan Nomor 138/PUU-XIII/2015 tersebut, Mahkamah
menegaskan petani kecil dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk
menemukan varietas unggul.
“Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” ujar
Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan didampingi para hakim
konstitusi lainnya, Kamis (27/10) di ruang sidang pleno MK.
Mahkamah menyatakan frasa “orang perseorangan” dalam Pasal 27 ayat (3) UU Perkebunan yang berbunyi “Kegiatan
pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dilakukan oleh orang perseorangan atau badan hukum
berdasarkan izin Menteri” bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perseorangan petani kecil”.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyebut norma Pasal 27 ayat
(3) UU Perkebunan sama dengan substansi norma dalam Pasal 9 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang
telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat berdasarkan Putusan Nomor
99/PUU-X/2012. “Dalam putusan dimaksud, Mahkamah telah pada intinya
mengakui hak perorangan petani kecil untuk pemuliaan tanaman tanpa harus
meminta izin,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan
pertimbangan hukum.
Dengan berpegang pada Putusan Nomor 99/PUU-X/2012, Mahkamah pun
menyatakan inkonstitusional bersyarat frasa “dapat” dalam Pasal 29 UU
Perkebunan yang berbunyi, “Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul” sepanjang tidak dimaknai “termasuk perorangan petani kecil”.
Mahkamah juga menyatakan frasa “varietas hasil pemuliaan” dalam Pasal 30 ayat (1) UU Perkebunan yang berbunyi, ““Varietas
hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan
terlebih dahulu harus dilepas oleh Pemerintah Pusat atau diluncurkan
oleh pemilik varietas.” bertentangan dengan UUD 1945 “sepanjang
tidak dimaknai bahwa ketentuan Pasal 30 ayat (1) UU Perkebunan tersebut
tidak berlaku bagi varietas hasil pemuliaan yang dilakukan oleh
perorangan petani kecil dalam negeri untuk komunitas sendiri”.
Masyarakat Adat Kuasai Lahan
Dalam putusan yang sama, Mahkamah pun menyatakan anggota masyarakat
hukum adat sah untuk mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau
menguasai lahan perkebunan. Norma Pasal 55 UU Perkebunan yang berbunyi:
“Setiap orang secara tidak sah dilarang:
- a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;
- b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan;
- c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau
- memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan”
Frasa “secara tidak sah” dalam norma pasal a quo, dinyatakan
Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “tidak
termasuk anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang telah memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor
31/PUU-V/2007”.
Menurut Mahkamah, secara normatif norma a quo tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Namun, ketentuan tersebut menjadi tidak
memberi kepastian hukum apabila terkait dengan keberadaan kesatuan
masyarakat hukum adat.
Agar ketentuan Pasal 55 UU Perkebunan dapat berlaku dan memberi
kepastian, maka Mahkamah memandang perlu adanya kepastian bahwa larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UU Perkebunan tidak berlaku bagi
orang-orang yang merupakan anggota kesatuan masyarakat hukum adat.
“Kesatuan masyarakat hukum adat dimaksud telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007 dan
perbuatan itu dilakukan di atas lahan yang merupakan hak ulayat dari
kesatuan masyarakat hukum adat dimaksud,” tegas Palguna.
Dengan inkonstitusionalitas sebagian Pasal 55 UU Perkebunan, maka
norma Pasal 107 UU Perkebunan yang merupakan ketentuan pidana terhadap
perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 undang-undang a quo
pun dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa “secara tidak sah”
tidak dimaknai “tidak termasuk anggota kesatuan masyarakat hukum adat
yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Putusan
Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007”.
Sebagaimana diketahui, Pemohon merupakan sejumlah lembaga swadaya
masyarakat yang peduli nasib petani kecil, di antaranya Serikat Petani
Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Sawit Watch (PSW), Aliansi Petani
Indonesia (API) dan Serikat Petani Indonesia (SPI). Para Pemohon
menggugat sejumlah ketentuan dalam UU Perkebunan yang dinilai merugikan
petani kecil dan masyarakat hukum adat.
Komentar
Posting Komentar